Kamis, 16 Oktober 2008

SPINA BIFIDA


I. DEFINISI

Spina Bifida termasuk dalam kelompok neural tube defect yaitu suatu celah pada tulang belakang yang terjadi karena bagian dari satu atau beberapa vertebra gagal menutup atau gagal terbentuk secara utuh.
Hal ini dapat terjadi saat beberapa minggu (21 minggu sampai dengan 28 minggu) setelah konsepsi.

II. PENYEBAB
Faktor genetik dan lingkungan (nutrisi atau terpapar bahan berbahaya) dapat menyebabkan resiko melahirkan anak dengan spina bifida.
Pada 95 % kasus spina bifida tidak ditemukan riwayat keluarga dengan defek neural tube. Resiko akan melahirkan anak dengan spina bifida 8 kali lebih besar bila sebelumnya pernah melahirkan anak spina bifida.
Terdapat beberapa jenis spina bifida:
1. Spina bifida occulta : Defek tidak tampak, jarang menimbulkan gejala atau komplikasi. Satu atau beberapa vertebra tidak terbentuk secara normal, tetapi korda spinalis dan selaputnya (meningens) tidak menonjol. Ditemukan tidak sengaja saat penderita dilakukan foto x-ray
2. Meningocele : meningens menonjol melalui vertebra yang tidak utuh dan teraba sebagai suatu benjolan berisi cairan di bawah kulit.
3. Spina bifida cystica (Myelomeningocele): jenis spina bifida yang kompleks dan paling berat, dimana korda spinalis menonjol dan keluar dari tubuh, kulit diatasnya tampak kasar dan merah.



Gambar 1 Jenis Spina Bifida

III. GEJALA SPINA BIFIDA
Gejala yang timbul disebabkan oleh komplikasi pada spina bifida antara lain :
- Abnormalitas pada lower spine selalu bersamaan dengan abnormalitas upper spine (Arnold Chiari malformation) yang menyebabkan masalah koordinasi
- Deformitas pada spine, hip, foot dan leg sering oleh karena imbalans kekuatan otot dan fungsi
- Masalah bladder dan bowel berupa ketidakmampuan untuk merelakskan secara volunter otot (sphincter) sehingga menahan urine pada bladder dan feses pada rectum.
- Hidrosefalus mengenai 90% penderita spina bifida. Inteligen dapat normal bila hirosefalus di terapi dengan cepat.
- Anak-anak dengan meningomyelocele banyak yang mengalami tethered spinal cord. Spinal cord melekat pada jaringan sekitarnya dan tidak dapat bergerak naik atau turun secara normal. Keadaan ini menyebabkan deformitas kaki, dislokasi hip atau skoliosis. Masalah ini akan bertambah buruk seiring pertumbuhan anak dan tethered cord akan terus teregang.
- Obesitas oleh karena inaktivitas
- Fraktur patologis pada 25% penderita spina bifida, disebabkan karena kelemahan atau penyakit pada tulang.
- Defisiensi growth hormon menyebabkan short statue
- Learning disorder
- Masalah psikologis, sosial dan seksual
- Alergi karet alami (latex)

VI. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.

Pemeriksaan dan Tes
Pada prenatal tes diukur tingkat maternal serum alpha-fetoprotein (MSAP atau AFP). Didapatkan hasil tinggi pada wanita yang mengandung bayi dengan spina bifida (85%) atau defek neural tube lainnya.
Tes ini memiliki angka positif palsu yang tinggi, karena itu jika hasilnya positif, perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk memperkuat diagnosis. Dilakukan USG yang biasanya dapat menemukan adanya spina bifida.
Tes ini disebut juga triple screen yang terdiri dari pemeriksaan AFP, ultrasound dan cairan amnion.
Pada evaluasi anak dengan spina bifida, dilakukan analisis melalui riwayat medik, riwayat medik keluarga dan riwayat kehamilan dan saat melahirkan.
Pemeriksaan fisik dipusatkan pada defisit neurologi, deformitas muskuloskeletal dan evaluasi psikologis. Pada anak yang lebih besar dilakukan asesmen tumbuh kembang, sosial dan gangguan belajar.
Pemeriksaan x-ray digunakan untuk mendeteksi kelainan tulang belakang, skoliosis, deformitas hip, fraktur pathologis dan abnormalitas tulang lainnya. USG tulang belakang bisa menunjukkan adanya kelainan pada korda spinalis maupun vertebra dan lokasi fraktur patologis. CT scan kepala untuk mengevaluasi hidrosepalus dan MRI tulang belakang untuk memberikan informasi pada kelainan spinal cord dan akar saraf.

VII. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada penderita spina bifida memerlukan koordinasi tim yang terdiri dari spesialis anak, saraf, bedah saraf, rehabilitasi medik, ortopedi, endokrin, urologi dan tim terapi fisik, ortotik, okupasi, psikologis perawat, ahli gizi sosial worker dan lain-lain.

VII.1 Urologi
Dalam bidang urologi, terapi pada disfungsi bladder dimulai saat periode neonatal sampai sepanjang hidup. Tujuan utamanya adalah :
1. Mengontrol inkotinensia
2. Mencegah dan mengontrol infeksi
3. Mempertahankan fungsi ginjal
Intermiten kateterisasi dapat dimulai pada residual urin > 20 cc dan kebanyakan anak umur 5 - 6 tahun dapat melakukan clean intermittent catheterization (CIC) dengan mandiri.
Bila terapi konservatif gagal mengontrol inkontinensia, prosedur bedah dapat dipertimbangkan. Untuk mencegah refluk dapat dilakukan ureteral reimplantasi, bladder augmentation, atau suprapubic vesicostomy.

VII.2 Orthopedi
Tujuan terapi ortopedi adalah memelihara stabilitas spine dengan koreksi yang terbaik dan mencapai anatomi alignment yang baik pada sendi ekstremitas bawah.
Dislokasi hip dan pelvic obliquity sering bersama-sama dengan skoliosis paralitik. Terapi skoliosis dapat dengan pemberian ortesa body jacket atau Milwaukee brace. Fusi spinal dan fiksasi internal juga dapat dilakukan untuk memperbaiki deformitas tulang belakang.
Imbalans gaya mekanik antara hip fleksi dan adduksi dengan kelemahan abduktor dan fungsi ekstensor menghasilkan fetal coxa valga dan acetabulum yang displastik, dangkal dan parsial. Hip abduction splint atau Pavlik harness digunakan 2 tahun pertama untuk counter gaya mekaniknya.
Pemanjangan tendon Achilles untuk deformitas equinus, flexor tenodesis atau transfer dan plantar fasciotomi untuk deformitas claw toe dan pes cavus yang berat. Subtalar fusion, epiphysiodesis, triple arthrodesis atau talectomi dilakukan bila operasi pada jaringan lunak tidak memberikan hasil yang memuaskan.

VII.3 Rehabilitasi Medik
Sistem Muskuloskeletal
Latihan luas gerak sendi pasif pada semua sendi sejak bayi baru lahir dilakukan seterusnya untuk mencegah deformitas muskuloskeletal. Latihan penguatan dilakukan pada otot yang lemah, otot partial inervation atau setelah prosedur tendon transfer

Perkembangan Motorik
Stimulasi motorik sedini mungkin dilakukan dengan memperhatikan tingkat dari defisit neurologis.

Ambulasi
Alat bantu untuk berdiri dapat dimulai diberikan pada umur 12 – 18 bulan. Spinal brace diberikan pada kasus-kasus dengan skoliosis.
Reciprocal gait orthosis (RGO) atau Isocentric Reciprocal gait orthosis (IRGO) sangat efektif digunakan bila hip dapat fleksi dengan aktif.
HKAFO digunakan untuk mengkompensasi instabilitas hip disertai gangguan aligment lutut. KAFO untuk mengoreksi fleksi lutut agar mampu ke posisi berdiri tegak.
Penggunaan kursi roda dapat dimulai saat tahun kedua terutama pada anak yang tidak dapat diharapkan melakukan ambulasi.



Gambar 2. Reciprocal gait orthosis (RGO)

Bowel training
Diet tinggi serat dan cairan yang cukup membantu feses lebih lunak dan berbentuk sehingga mudah dikeluarkan. Pengeluaran feses dilakukan 30 menit setelah makan dengan menggunakan reflek gastrokolik. Crede manuver dilakukan saat anak duduk di toilet untuk menambah kekuatan mengeluarkan dan mengosongkan feses
Stimulasi digital atau supositoria rektal digunakan untuk merangsang kontraksi rektal sigmoid. Fekal softener digunakan bila stimulasi digital tidak berhasil.

VIII. PROGNOSIS
Prognosis spina bifida tergantung pada berat ringannya abnormalitas. Prognosis terburuk bila terdapat paralisis komplet, hidrosefalus dan defek kongenital lainnya. Dengan penanganan yang baik, sebagian besar anak-anak dengan spina bifida dapat hidup sampai usia dewasa.

IX. PENCEGAHAN
Resiko terjadinya spina bifida bisa dikurangi dengan mengkonsumsi asam folat. Kekurangan asam folat pada seorang wanita harus dikoreksi sebelum wanita tersebut hamil, karena kelainan ini terjadi sangat dini.
Kepada wanita yang berencana untuk hamil dianjurkan untuk mengkonsumsi asam folat sebanyak 400 mcg/hari. Kebutuhan asam folat pada wanita hamil adalah 1 mg/hari.



PUSTAKA
1. Molnar GE, Murphy KP, Spina Bifida In: Pediatric Rehabilitation, 3rd ed, Hanley & Helfus Inc, Philadelphia:p219-40
2. Foster MR. Spina Bifida..http://www.emedicinehealth.com/spina_bifida.Downloaded at 11/11/07. 09:12
3. Spina Bifida. http://naya.web.id/2007/01/25/spina-bifida/ Downloaded at 11/11/07. 11:13
4. Spina Bifida. http://www.mayoclinic.com/health/spina-bifida/DS00417/DSECTION=2 Downloaded at 11/11/07. 12:42
5. RGO Introduction http://www.centerfororthoticsdesign.com/ isocentric_rgo /index.html. Downloaded at 14/11/07.11:12
6. Spina Bifida Association. Toilet Training the Child with Spina Bifida. Toilet Training the Child with Spina Bifida.Downloaded at 11/4/07. 02:07
7. Southwest Institute for Families and children with special needs. Spina Bifida. www.hrtw.org/tools/pdfs/spina_bifida.pdf .Downloaded at 11/4/07. 04:27
8. Spina Bifida. http://www.wrongdiagnosis.com/s/spina_bifida/prognosis.htm. Downloaded at 04/12/07. 10:16







Rabu, 10 September 2008

AMPUTASI BAWAH SIKU

INDIKASI AMPUTASI
Tindakan amputasi dilakukan apabila secara maksimal terapi yang diberikan dinyatakan gagal. Apley (1993) menyatakan indikasi amputasi adalah 3 D :
a. Dead (anggota tubuh yang mati): kelainan vaskuler, trauma, luka bakar atau "frost bite"
b. Dangerous (anggota tubuh yang membahayakan) : tumor ganas, infeksi yang mengarah ke
sepsis atau "crush injury" dengan resiko
c. Damn Nuisance (anggota tubuh yang mengganggu) : kelainan kongenital, nyeri yang hebat,
gangguan fungsi yang berat atau infeksi kronis yang berulang.(1)

LEVEL AMPUTASI ANGGOTA GERAK ATAS
Terdapat level - level optimal amputasi, tetapi level optimal tersebut tidak dapat dipilih khususnya pada kasus trauma misalnya kecelakaan. Prinsip tindakan bedah adalah mempertahankan jaringan lunak yang hidup dan tulang sepanjang mungkin, tetapi untuk pemasangan prostesis dengan potongan sedikit dari level optimal perlu dipertimbangkan.
Level amputasi pada above elbow diukur dari akromion sampai ujung puntung, pengukuran dibandingkan dengan sisi yang sehat (akromion sampai epikondilus lateralis), dan dinyatakan dengan prosentase:
Level amputasi bawah siku diukur dari epikondilus medialis ke ujung ulna atau radius dari puntung dan dibandingkan ke ujung prosesus stiloid ulna pada sisi sehat. (3,7)





















Level Amputasi Anggota Gerak Atas



TEKNIK OPERASI DAN EVALUASI
Teknik dari amputasi terdiri dari :
1. Myodesis
2. Myoplasti (1,5)
Teknik dan indikasi dari tindakan amputasi untuk evaluasi dari puntung sangat penting. Hal yang perlu dievaluasi adalah :
1. Kondisi secara umum yaitu status mental penderita dan kondisi fisik penderita (vital sign,
penyakit penyerta)
2. Kondisi secara lokal (puntung) yaitu panjang puntung, bentuk puntung, tipe dan posisi dari
jaringan parut insisi, luas gerak sendi dan stabilitas dari persendian.(3,4,6)

DEFINISI PROSTESIS
Prostesis adalah suatu alat pengganti bagian tubuh yang hilang. Prostesis ini mengganti fungsi yang sangat komplek dari anggota gerak. Prostesis ekstremitas atas diperlukan pada defisiensi tulang kongenital atau amputasi karena trauma atau penyakit. Prostesis ekstremitas atas dipakai untuk tujuan kosmetik atau untuk fungsional. Prostesis ekstremitas atas dirancang untuk memberikan kembalinya fungsi semaksimal mungkin. Dan mengorbankan kosmetik sesedikit mungkin.(3,4)

PENANGANAN REHABILITASI PENDERITA AMPUTASI
Penanganan rehabilitasi penderita amputasi ada beberapa tahap, yaitu:
a. Penanganan Sebelum Prostesis
1. Sebelum operasi
Sebelum menjalani operasi, penting dijelaskan mengenai persiapan sebelum operasi, komplikasi yang akan terjadi dan perawatan setelah operasi. Juga ditanyakan pada penderita kesediaan memakai prostesis dan jenis prostesis yang akan diberikan.
Pemberian latihan sebelum operasi dapat berupa :
a. Latihan penguatan dari seluruh otot
b. Latihan luas gerak sendi
c. Latihan untuk ADL

2. Setelah operasi

a. Penyembuhan luka operasi yang adekuat
b. Mengontrol nyeri
c. Melihat performa dari ADL nya
d. Mobilitas
e. Mempertahankan luas gerak sendi dari bagian anggota gerak yang diamputasi
f. Menyiapkan stump untuk pengukuran prostesis
g. Menerangkan mengenai pengukuran dan perawatan prostesis
h. Mensuport terhadap perubahan akibat amputasinya

b. Penanganan Stump
Untuk mempercepat kesembuhan luka, mencegah trauma, mengurangi edema, serta mengurangi nyeri dapat diberikan a plester of Paris atau rigid dressing yang terbuat dari fiberglass jika tidak ada rigid dressing dapat dipakai elastic bandage atau elastic stockinette dan harus dipakai selama 24 jam kecuali saat mandi atau saat luka dibersihkan.

c. Penanganan Pemasangan Prostesis
Melalui beberapa tahap :
1. Prosthesis fitting
Dimulai bila stump sudah siap untuk casting kemudian dilanjutkan dengan definitive prosthesis. Selain kondisi stump perlu diperhatikan keadaan di bawah ini
a. Keadaan kulit yang menutup stump
b. Luas gerak sendi dari stump
c. Kekuatan otot
d. Kontrol motorik
e. Kelainan saraf









Stump Myoplasti

2. Tujuan pembuatan prostesis
Prostesis dibuat dengan 3 tujuan yaitu :
a. Fungsional
b. Kosmetik
c. Fungsional dan kosmetik
Prostesis dapat direncanakan secara khusus misalnya untuk spesifik vokasional, rekreasional, keperluan sosial atau pengoperasiannya dengan elektrik. Dengan makin berkembangnya bahan yang ditemukan, design baru, dan teknik fitting yang baik dapat tercapai hasil yang optimal artinya prostesis tersebut dibuat lebih nyaman kalau dipakai, indah, dan sesuai dengan tujuan fungsional.

3. Preparatory prosthesis
Keuntungan dari preparatory prostesis adalah bila keadaan stumpnya sudah matur. Pasien biasanya diijinkan untuk mencoba beberapa bulan sebelumnya dalam memakai prostesis untuk menentukan prostesis apa yang kelak akan dicapai. Selama tes percobaan tersebut, diharapkan pasien dapat mempelajari apa yang kelak akan dilakukan dengan prostesis tersebut.
Kadang - kadang preparatory prosthesis tidak dapat diberikan karena masalah finansial. Pasien biasanya langsung memakai definitive (final) prosthesis. Jika pasien langsung memakai final prostesis tanpa dilakukan preparatory prostesis, hal ini harus ditunda sampai residual limb-nya matur (biasanya 3-4 bulan).

4. Definitive prosthesis
Pembuatan definitive prostesis mengikuti tahap :
a. Membuat cast pada stump
b. Membuat plaster positive pada stump
c. Memodifikasi plaster positive yang terbentuk dengan maksud mengurangi area yang
toleran terhadap tekanan dan menambah plaster ke area yang sensitive tekanan terhadap
stump.
d. Membuat socket
e. Mencoba socket
f. Membentuk plaster positive
g. Menyempurnakan socket dengan termoplastik atau pelapis socket




Proses Fitting





Definitive Prosthesis


5. Evaluasi akhir prostesis
Yang perlu dievaluasi adalah :
a. appropriate fitting (tepat / cocok)
b. alignment
c. length (3,4)

d. Karakteristik prostesis yang baik
Sebuah prostesis harus nyaman digunakan, mudah dilepas dan dipasang, ringan, daya tahan kuat, dan baik secara kosmetik. Prostesis juga harus berfungsi baik secara mekanik dan dapat mudah dirawat. Compliance prostesis sendiri sangat tergantung pada motivasi individu untuk memakainya. (8)

e. Beberapa pertimbangan saat memilih prostesis
1. Level amputasi
2. Fungsi yang diharapkan dari prostesis
3. Fungsi kognitif pasien
4. Pekerjaan pasien
5. Aktivitas yang diminati pasien (mis : hobby)
6. Penting tidaknya kosmetik pada prostesis
7. Sumber keuangan pasien (8)


Myoelectric Hand




Body Powered Terminal Device




Hybrid Terminal Device : SeeMED (Servo Electric Mechanical Terminal Device)


KOMPONEN BELOW ELBOW PROSTHESIS (BAWAH SIKU)
Prostesis atas siku terdiri dari :
a. Terminal Device
b. Wrist unit
c. Socket
d. Elbow Hinges
e. Harness suspension dan system control (3,4,7)



Komponen Below Elbow Prosthesis 3

PUSTAKA
1. Apley AG. Orthopaedic Operations. In : Apley’s System Of Orthopaedics and Fractures 7th Ed. Butterworth Heinemann. Oxford, 1993. pp 251-258.
2. Bender LF. Upper Extremity Prosthetics In : Kottke FJ, Lehmann JF. Krusen’s Handbook of Physical Medicine & Rehabilitation. WB. Saunders Company. Philadelphia, 1990.pp 1009 – 23.
3. Berger N. Upper Limb Prosthetic System In : The American Academy of Orthopaedic Surgeons. Atlas of Limb Prosthetics Surgical and prosthetic Principles. The CV. Mosby Company. Missouri, 1981.pp 97 – 158.
4. Celikyol Fg. Amputations and Prosthetics In : Occupational Therapy for Physical Dysfunction 5th Ed. Lippincott Williams & Wilkins. Maryland 2002.pp. 1045-1069
5. Esquenazi A. Upper Limb Amputee Rehabilitation and Prosthetic Restoration In : Braddom RL. Physical Medicine & Rehabilitation. 4th ed. WB. Saunders Company. Philadelphia, 1996.pp 275-88.
6. Reed KL. Amputation of an Upper Extremity – Adult In : Quick Reference to Occupational Therapy. Aspen Publishers. Maryland, 1991 pp. 212 -215.
7. Tan JC. Prostheses In : Practial Manual of Physical Medicine and Rehabilitation. The CV. Mosby Company. Missouri, 1998. pp 229-59.
8. Edward SG.Elbow and Above-Elbow Amputations. Downloaded at 12:23 PM.13/10/07 .www.emedicine.com
9. Daley BJ. Electrical Injury.Downloaded at 13.05 PM.13/10/07. www.emedicine.com /med/byname/Electrical-Injuries.htm
10. Kowalske K, Helm P, Burn in : Garrison SJ, Handbook of Physical Medicine and Rehabilitation, 2nd edition, Lippincott Williams & Wilkins, 2003;67-78.
11. Rivers E, Fisher SV, Rehabilitation for burn Patient in : Krusen’s handbook of physical medicine and rehabilitation, 4th edition,WB Saunders, 1990;1070-1101

Kamis, 28 Agustus 2008

Membakar HHO

Hati-hati, tidak untuk ditiru...

Membakar kantong plastik 1/2 kg berisi HHO hasil elektroliser.