Selasa, 11 Desember 2012

SENAM BESER


Senam Beser Masal Versi Instalasi Rehabilitasi Medik RSUD dr. Soetomo.
Sumber : Satyawati, R. & Wulan S.M.M. Seminar Surabaya Bebas Beser. 9 -10 April 2011



Jumat, 29 Mei 2009

Trauma pada Pleksus Brakialis

ANATOMI PLEKSUS BRAKIALIS

Ramus anterior saraf spinal C5 sampai T1 bergabung membentuk pleksus brakialis. C5 dan C6 berbgabung membentuk trunk superior, C7 membentuk trunk medial, dan C8 dan T1 bergabung membentuk trunk inferior. Cord medial merupakan divisi anterior dari trunk inferior. Divisi anterior yang berasal dari upper dan middle trunk membentuk cord lateral.Divisi posterior berasal 3 trunk membentuk posterior cord. Dari ketiga cord tersebut keluar cabang saraf yang menginervasi anggota gerak atas antara lain n muskulokutaneus berasal dari cord lateral, n medianus berasal dari cord lateral dan medial, n radialis dari cord posterior, n aksilaris dari cord posterior dan n ulnaris dari cord medial.

Long thorasic dan dorsal scapular berasal langsung dari root saraf spinal. Hanya n suprascapular (C5 C6) yang berasal dari trunk.

Saraf spinal keluar dari foramina vertebralis dan melewati scalenus anterior dan medial, kemudian antara klavikula dan rusuk pertama didekat coracoid dan caput humerus. Pleksus pada bagian praosimal bergabung di prevertebral dan oleh axillary sheath di mid arm.


PENYEBAB

Ada banyak kemungkinan penyebab lesi pleksus brakialis. Trauma adalah penyebab yang paling sering, selain itu juga kompresi lokal seperti pada tumor, idiopatik, radiasi, post operasi dan cedera saat lahir.


PATOFISIOLOGI

Bagian cord akar saraf dapat terjadi avulsi atau pleksus mengalami traksi atau kompresi. Setiap trauma yang meningkatkan jarak antara titik yang relatif fixed pada prevertebral fascia dan mid fore arm akan melukai pleksus.

Traksi dan kompresi dapat juga menyebabkan iskemi, yang akan merusak pembuluh darah. Kompresi yang berat dapat menyebabkan hematome intraneural, dimana akan menjepit jaringan saraf sekitarnya.


KLASIFIKASI LESI

1. Lesi Upper Plexus
Erb-Duchenne Paralysis (C5 C6)
Kelemahan atau paralisis pada bahu dan bicep, kadang disertai trauma pada root C7 yang menyebabkan
paralisa lengan bawah.

2. Lesi Lower Plexus
Dejerine-Klumpke’s Paralysis (C8 T1)
Kadang disertai kerusakan root C7, paralisis pada otot intrisik tangan dan fleksor jari yang menyebabkan
kehilangan fungsi tangan dan lengan bawah. Sering terjadi sympathetic palsy – Horner’s syndrome

3. Lesi Total Brachial
Erb-Klumpke Paralysis (C5 – T1)
Komplet paralisis dan anestesi dari lengan

4. Lesi Posterior Cord
Mengenai root C5 C6 C7 C8, paralisis pada deltoid, ekstensor elbow, ekstensor wrist, extensor fingers.


GAMBARAN KLINIS

Terdapat riwayat trauma yang melibatkan ekstensi servikal, rotasi, lateral bending, dan depresi atau hiperabduksi dari bahu. Pasien juga mengeluhkan kelemahan, kehilangan sensori, parasetesia pada lengan.
Mekanisme trauma dapat berupa tarikan, luka tembus, hantaman atau kompresi
Pemeriksaan dilakukan pada tulang leher, bahu, kalvikula, skapula serta sendi untuk luas gerak sendi, alignment, dan tender point.
Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan motorik, pemeriksaan sensorik dan reflek tendon dalam
Pemeriksaan sensorik dapat berupa light touch sensation, pinprick sensation, 2-point discrimination, vibrasi dan proprioseptif
Evaluasi juga dilakukan untuk memeriksa joint instability, dan winging skapula, pola atrofi otot dibandingkan dengan sisi yang sehat, tanda-tanda sindrom Horner, serta pemeriksaan untuk spinal cord dan brain injury.


DIAGNOSA BANDING

Guilain-Barre Syndrome
Multiple Sclerosis
Spinal Cord Injury
Traumatic Brain Injury


PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Radiografi
1. Foto vertebra servikal untuk mengetahui apakah ada fraktur pada vertebra servikal
2. Foto bahu untuk mengetahui apakah ada fraktur skapula, klavikula atau humerus.
3. Foto thorak untuk melihat disosiasi skapulothorak serta tinggi diafragma pada kasus paralisa saraf
phrenicus.

EMG – NVC
1. Pemeriksaan NCV untuk mengetahui system motorik dan sensorik, kecepatan hantar saraf serta latensi
distal.
SNAPs (sensory nerve action potentials) berguna untuk membedakan lesi preganglionic atau lesi
postganglionic. Pada lesi postganglionic, SNAPs tidak didapatkan tetapi positif pada lesi preganglionic.
2. Pemeriksaan EMG dengan jarum pada otot dapat tampak fibrilasi, positive sharp wave (pada lesi
axonal), amplitudo dan durasi.

SSEP (Somatosensory evoked potensials)
Berguna untuk membedakan lesi proksimal misalnya pada root avulsion

MRI dan CT SCAN
Untuk melihat detail struktur anatomi dan jaringan lunak saraf perifer.


PENATALAKSANAAN

BEDAH

Regangan dan memar pada pleksus brakialis diamati selama 4 bulan, bila tidak ada perbaikan, pleksus harus dieksplor. Nerve transfer (neurotization) atau tendon transfer diperlukan bila perbaikan saraf gagal.1

1. Pembedahan Primer
Pembedahan dengan standart microsurgery dengan tujuan memperbaiki injury pada plexus serta
membantu reinervasi. Teknik yang digunakan tergantung berat ringan lesi.

1. Neurolysis : Melepaskan constrictive scar tissue disekitar saraf.
2. Neuroma excision : Bila neuroma besar, harus dieksisi dan saraf dilekatkan kembali dengan teknik
end-to-end atau nerve grafts
3. Nerve grafting: Bila “gap” antara saraf terlalu besar, sehingga tidak mungkin dilakukan tarikan. Saraf yang
sering dipakai adalah n suralis, n lateral dan medial antebrachial cutaneous, dan cabang terminal sensoris
pada n interosseus posterior
4. Neurotization : Neurotization pleksus brachialis digunakan umumnya pada kasus avulsi pada akar saraf
spinal cord. Saraf donor yang dapat digunakan : hypoglossal nerve, spinal accessory nerve, phrenic
nerve, intercostal nerve, long thoracic nerve dan ipsilateral C7 nerve. Intraplexual neurotization
menggunakan bagian dari root yang masih melekat pada spinal cord sebagai donor untuk saraf yang
avulsi.

2. Pembedahan Sekunder
Tujuan untuk meningkatkan seluruh fungsi extremitas yang terkena. Ini tergantung saraf yang terkena. Prosedurnya berupa tendon transfer, pedicled muscle transfers, free muscle transfers, joint fusions and rotational, wedge or sliding osteotomies.


REHABILITASI PASKA TRAUMA PLEKSUS BRAKIALIS

Paska operasi Nerve repair dan graft.

Setelah pembedahan immobilisasi bahu dilakukan selama 3-4 minggu. Terapi rehabilitasi dilakukan setelah 4 minggu paska operasi dengan gerakan pasif pada semua sendi anggota gerak atas untuk mempertahankan luas gerak sendi. Stimulasi elektrik diberikan pada minggu ketiga sampai ada perbaikan motorik. Pasien secara terus menerus diobservasi dan apabila terdapat tanda-tanda perbaikan motorik, latihan aktif bisa segera dimulai. Latihan biofeedback bermanfaat bagi pasien agar otot-otot yang mengalami reinnervasi bisa mempunyai kontrol yang lebih baik.

Paska operasi free muscle transfer

Setelah transfer otot, ekstremitas atas diimobilisasi dengan bahu abduksi 30, fleksi 60 dan rotasi internal, siku fleksi 100. Pergelangan tangan posisi neutral, jari-jari dalam posisi fleksi atau ekstensi tergantung jenis rekonstruksinya.
Ekstremitas dibantu dengan arm brace dan cast selama 8 minggu, selanjutnya dengan sling untuk mencegah subluksasi sendi glenohumeral sampai pulihnya otot gelang bahu.
Statik splint pada pergelangan tangan dengan posisi netral dan ketiga sendi-sendi dalam posisi intrinsik plus untuk mencegah deformitas intrinsik minus selama rehabilitasi. Dilakukan juga latihan gerak sendi gentle pasif pada sendi bahu, siku dan semua jari-jari, kecuali pada pergelangan tangan.
Pemberian elektro stimulasi pada transfer otot dan saraf yang di repair dilakukan pada target otot yg paralisa seperti pada otot gracilis, tricep brachii, supraspinatus dan infraspinatus.
Elektro stimulasi intensitas rendah diberikan mulai pada minggu ketiga paska operasi dan tetap dilanjutkan sampai EMG menunjukkan adanya reinervasi.
Enam minggu paska operasi selama menjaga regangan berlebihan dari jahitan otot dan tendon, dilakukan ekstensi pergelangan tangan dan mulai dilatih pasif ekstensi siku. Sendi metacarpal juga digerakkan pasif untuk mencegah deformitas claw hand.
Ortesa fungsional digunakan untuk mengimobilisasi ekstremitas atas. Dapat digunakan tipe airbag (nakamura brace) untuk imobilisasi sendi bahu dan siku.
Sembilan minggu paska operasi, ortesa airbag dilepas dan ortesa elbow sling dipakai untuk mencegah subluksasi bahu.

Setelah Reinervasi

Setelah EMG menunjukkan reinervasi pada transfer otot, biasanya 3 - 8 bulan paska operasi, EMG biofeedback dimulai untuk melatih transfer otot menggerakkan siku dan jari.
Teknik elektromiografi feedback di mulai untuk melatih otot yang ditransfer untuk menggerakkan siku dan jari dimana pasien biasanya kesulitan mengkontraksikan ototnya secara efektif.
Pada alat biofeedback terdapat level nilai ambang yang dapat diatur oleh terapis atau pasien sendiri. Saat otot berkontraksi pada level ini, suatu nada berbunyi, layar osciloskop akan merekam respons ini. Level ini dapat diatur sesuai tujuan yang akan dicapai.
Lempeng elektroda ditempelkan pada otot, kemudian pasien diminta untuk mengkontraksikan ototnya. Pada saat permulaan biasanya EMG discharge sulit didapatkan, tetapi dengan latihan yang kontinu, EMG discharge otot akan mulai tampak.
Latihan EMG biofeedback dilakukan 4 kali seminggu dan tiap sesi selama 10 - 70 menit, dan latihan segera dihentikan bila ada tanda-tanda kelelahan..
Efektivitas latihan biofeedback tidak dapat dicapai bila pasien tidak mempunyai motivasi dan konsentrasi yang cukup.



Reedukasi otot diindikasikan saat pasien menunjukkan kontraksi aktif minimal yang tampak pada otot dan group otot. Tujuan reedukasi otot untuk pasien adalah mengaktifkan kembali kontrol volunter otot. Ketika pasien bekerja dengan otot yang lemah, intensitas aktivitas motor unit dan frekuensi kontraksi otot akan meningkat. Waktu sesi terapi seharusnya pendek dan dihentikan saat terjadi kelelahan dengan ditandai penurunan kemampuan pasien mencapai tingkat yang diinginkan.
Pemanasan, ultrasound diatermi, TENS, interferensial stimulasi, elektro stimulasi dapat dipergunakan sesuai indikasi. Dilakukan juga penguatan otot-otot leher dan koreksi imbalans otot-otot ekstremitas atas.

Terapi Okupasi

Terapi okupasi terutama diperlukan untuk :
Memelihara luas gerak sendi bahu, membuat ortesa yg tepat untuk membantu fungsi tangan, siku dan lengan,
mengontrol edema defisit sensoris.
Melatih kemampuan untuk menulis, mengetik, komunikasi.
Menggunakan teknik-teknik untuk aktivitas sehari-hari, termasuk teknik menggunakan satu lengan,
menggunakan peralatan bantu serta latihan penguatan dengan mandiri.

Terapi Rekreasi

Terapi ini sebagai strategi dan aktivitas kompensasi sehingga dapat menggantikan berkurang dan hilangnya fungsi ekstremitas.

Ortesa pada paska Trauma Pleksus Brakialis

Pada umumnya penderita dengan injury pleksus brakialis akan menggunakan lengan disisi kontralateral untuk beraktivitas. Pada beberapa kasus, penderita memerlukan kedua tangan untuk melakukan aktivitas yang lebih kompleks. Untuk itu orthosis didesain sesuai kebutuhan penderita
Orthosis untuk penderita injury pleksus brakialis dibuat terutama untuk mensuport bagian bahu dan siku



Sedangkan untuk prehension tangan, umumnya terbatas pada metode kontrolnya sehingga tidak banyak didesain. Beberapa orthosis digerakkan menggunakan sistem myoelektrik, sehingga penderita mampu melakukan gerakan pada pergelangan tangan dan pinch pada jari-jarinya





Orthosis ini dapat membantu penderita paska trauma untuk melakukan aktivitas sehari-hari seperti makan dan minum dari gelas atau botol, menyisir rambut, menggosok gigi, menulis menggambar, membuka dan menutup pintu, membawa barang-barang.



Kamis, 16 Oktober 2008

SPINA BIFIDA


I. DEFINISI

Spina Bifida termasuk dalam kelompok neural tube defect yaitu suatu celah pada tulang belakang yang terjadi karena bagian dari satu atau beberapa vertebra gagal menutup atau gagal terbentuk secara utuh.
Hal ini dapat terjadi saat beberapa minggu (21 minggu sampai dengan 28 minggu) setelah konsepsi.

II. PENYEBAB
Faktor genetik dan lingkungan (nutrisi atau terpapar bahan berbahaya) dapat menyebabkan resiko melahirkan anak dengan spina bifida.
Pada 95 % kasus spina bifida tidak ditemukan riwayat keluarga dengan defek neural tube. Resiko akan melahirkan anak dengan spina bifida 8 kali lebih besar bila sebelumnya pernah melahirkan anak spina bifida.
Terdapat beberapa jenis spina bifida:
1. Spina bifida occulta : Defek tidak tampak, jarang menimbulkan gejala atau komplikasi. Satu atau beberapa vertebra tidak terbentuk secara normal, tetapi korda spinalis dan selaputnya (meningens) tidak menonjol. Ditemukan tidak sengaja saat penderita dilakukan foto x-ray
2. Meningocele : meningens menonjol melalui vertebra yang tidak utuh dan teraba sebagai suatu benjolan berisi cairan di bawah kulit.
3. Spina bifida cystica (Myelomeningocele): jenis spina bifida yang kompleks dan paling berat, dimana korda spinalis menonjol dan keluar dari tubuh, kulit diatasnya tampak kasar dan merah.



Gambar 1 Jenis Spina Bifida

III. GEJALA SPINA BIFIDA
Gejala yang timbul disebabkan oleh komplikasi pada spina bifida antara lain :
- Abnormalitas pada lower spine selalu bersamaan dengan abnormalitas upper spine (Arnold Chiari malformation) yang menyebabkan masalah koordinasi
- Deformitas pada spine, hip, foot dan leg sering oleh karena imbalans kekuatan otot dan fungsi
- Masalah bladder dan bowel berupa ketidakmampuan untuk merelakskan secara volunter otot (sphincter) sehingga menahan urine pada bladder dan feses pada rectum.
- Hidrosefalus mengenai 90% penderita spina bifida. Inteligen dapat normal bila hirosefalus di terapi dengan cepat.
- Anak-anak dengan meningomyelocele banyak yang mengalami tethered spinal cord. Spinal cord melekat pada jaringan sekitarnya dan tidak dapat bergerak naik atau turun secara normal. Keadaan ini menyebabkan deformitas kaki, dislokasi hip atau skoliosis. Masalah ini akan bertambah buruk seiring pertumbuhan anak dan tethered cord akan terus teregang.
- Obesitas oleh karena inaktivitas
- Fraktur patologis pada 25% penderita spina bifida, disebabkan karena kelemahan atau penyakit pada tulang.
- Defisiensi growth hormon menyebabkan short statue
- Learning disorder
- Masalah psikologis, sosial dan seksual
- Alergi karet alami (latex)

VI. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.

Pemeriksaan dan Tes
Pada prenatal tes diukur tingkat maternal serum alpha-fetoprotein (MSAP atau AFP). Didapatkan hasil tinggi pada wanita yang mengandung bayi dengan spina bifida (85%) atau defek neural tube lainnya.
Tes ini memiliki angka positif palsu yang tinggi, karena itu jika hasilnya positif, perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk memperkuat diagnosis. Dilakukan USG yang biasanya dapat menemukan adanya spina bifida.
Tes ini disebut juga triple screen yang terdiri dari pemeriksaan AFP, ultrasound dan cairan amnion.
Pada evaluasi anak dengan spina bifida, dilakukan analisis melalui riwayat medik, riwayat medik keluarga dan riwayat kehamilan dan saat melahirkan.
Pemeriksaan fisik dipusatkan pada defisit neurologi, deformitas muskuloskeletal dan evaluasi psikologis. Pada anak yang lebih besar dilakukan asesmen tumbuh kembang, sosial dan gangguan belajar.
Pemeriksaan x-ray digunakan untuk mendeteksi kelainan tulang belakang, skoliosis, deformitas hip, fraktur pathologis dan abnormalitas tulang lainnya. USG tulang belakang bisa menunjukkan adanya kelainan pada korda spinalis maupun vertebra dan lokasi fraktur patologis. CT scan kepala untuk mengevaluasi hidrosepalus dan MRI tulang belakang untuk memberikan informasi pada kelainan spinal cord dan akar saraf.

VII. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada penderita spina bifida memerlukan koordinasi tim yang terdiri dari spesialis anak, saraf, bedah saraf, rehabilitasi medik, ortopedi, endokrin, urologi dan tim terapi fisik, ortotik, okupasi, psikologis perawat, ahli gizi sosial worker dan lain-lain.

VII.1 Urologi
Dalam bidang urologi, terapi pada disfungsi bladder dimulai saat periode neonatal sampai sepanjang hidup. Tujuan utamanya adalah :
1. Mengontrol inkotinensia
2. Mencegah dan mengontrol infeksi
3. Mempertahankan fungsi ginjal
Intermiten kateterisasi dapat dimulai pada residual urin > 20 cc dan kebanyakan anak umur 5 - 6 tahun dapat melakukan clean intermittent catheterization (CIC) dengan mandiri.
Bila terapi konservatif gagal mengontrol inkontinensia, prosedur bedah dapat dipertimbangkan. Untuk mencegah refluk dapat dilakukan ureteral reimplantasi, bladder augmentation, atau suprapubic vesicostomy.

VII.2 Orthopedi
Tujuan terapi ortopedi adalah memelihara stabilitas spine dengan koreksi yang terbaik dan mencapai anatomi alignment yang baik pada sendi ekstremitas bawah.
Dislokasi hip dan pelvic obliquity sering bersama-sama dengan skoliosis paralitik. Terapi skoliosis dapat dengan pemberian ortesa body jacket atau Milwaukee brace. Fusi spinal dan fiksasi internal juga dapat dilakukan untuk memperbaiki deformitas tulang belakang.
Imbalans gaya mekanik antara hip fleksi dan adduksi dengan kelemahan abduktor dan fungsi ekstensor menghasilkan fetal coxa valga dan acetabulum yang displastik, dangkal dan parsial. Hip abduction splint atau Pavlik harness digunakan 2 tahun pertama untuk counter gaya mekaniknya.
Pemanjangan tendon Achilles untuk deformitas equinus, flexor tenodesis atau transfer dan plantar fasciotomi untuk deformitas claw toe dan pes cavus yang berat. Subtalar fusion, epiphysiodesis, triple arthrodesis atau talectomi dilakukan bila operasi pada jaringan lunak tidak memberikan hasil yang memuaskan.

VII.3 Rehabilitasi Medik
Sistem Muskuloskeletal
Latihan luas gerak sendi pasif pada semua sendi sejak bayi baru lahir dilakukan seterusnya untuk mencegah deformitas muskuloskeletal. Latihan penguatan dilakukan pada otot yang lemah, otot partial inervation atau setelah prosedur tendon transfer

Perkembangan Motorik
Stimulasi motorik sedini mungkin dilakukan dengan memperhatikan tingkat dari defisit neurologis.

Ambulasi
Alat bantu untuk berdiri dapat dimulai diberikan pada umur 12 – 18 bulan. Spinal brace diberikan pada kasus-kasus dengan skoliosis.
Reciprocal gait orthosis (RGO) atau Isocentric Reciprocal gait orthosis (IRGO) sangat efektif digunakan bila hip dapat fleksi dengan aktif.
HKAFO digunakan untuk mengkompensasi instabilitas hip disertai gangguan aligment lutut. KAFO untuk mengoreksi fleksi lutut agar mampu ke posisi berdiri tegak.
Penggunaan kursi roda dapat dimulai saat tahun kedua terutama pada anak yang tidak dapat diharapkan melakukan ambulasi.



Gambar 2. Reciprocal gait orthosis (RGO)

Bowel training
Diet tinggi serat dan cairan yang cukup membantu feses lebih lunak dan berbentuk sehingga mudah dikeluarkan. Pengeluaran feses dilakukan 30 menit setelah makan dengan menggunakan reflek gastrokolik. Crede manuver dilakukan saat anak duduk di toilet untuk menambah kekuatan mengeluarkan dan mengosongkan feses
Stimulasi digital atau supositoria rektal digunakan untuk merangsang kontraksi rektal sigmoid. Fekal softener digunakan bila stimulasi digital tidak berhasil.

VIII. PROGNOSIS
Prognosis spina bifida tergantung pada berat ringannya abnormalitas. Prognosis terburuk bila terdapat paralisis komplet, hidrosefalus dan defek kongenital lainnya. Dengan penanganan yang baik, sebagian besar anak-anak dengan spina bifida dapat hidup sampai usia dewasa.

IX. PENCEGAHAN
Resiko terjadinya spina bifida bisa dikurangi dengan mengkonsumsi asam folat. Kekurangan asam folat pada seorang wanita harus dikoreksi sebelum wanita tersebut hamil, karena kelainan ini terjadi sangat dini.
Kepada wanita yang berencana untuk hamil dianjurkan untuk mengkonsumsi asam folat sebanyak 400 mcg/hari. Kebutuhan asam folat pada wanita hamil adalah 1 mg/hari.



PUSTAKA
1. Molnar GE, Murphy KP, Spina Bifida In: Pediatric Rehabilitation, 3rd ed, Hanley & Helfus Inc, Philadelphia:p219-40
2. Foster MR. Spina Bifida..http://www.emedicinehealth.com/spina_bifida.Downloaded at 11/11/07. 09:12
3. Spina Bifida. http://naya.web.id/2007/01/25/spina-bifida/ Downloaded at 11/11/07. 11:13
4. Spina Bifida. http://www.mayoclinic.com/health/spina-bifida/DS00417/DSECTION=2 Downloaded at 11/11/07. 12:42
5. RGO Introduction http://www.centerfororthoticsdesign.com/ isocentric_rgo /index.html. Downloaded at 14/11/07.11:12
6. Spina Bifida Association. Toilet Training the Child with Spina Bifida. Toilet Training the Child with Spina Bifida.Downloaded at 11/4/07. 02:07
7. Southwest Institute for Families and children with special needs. Spina Bifida. www.hrtw.org/tools/pdfs/spina_bifida.pdf .Downloaded at 11/4/07. 04:27
8. Spina Bifida. http://www.wrongdiagnosis.com/s/spina_bifida/prognosis.htm. Downloaded at 04/12/07. 10:16